Beranda | Artikel
Disunnahkan Berwudhu Di Antara Dua Jima
Sabtu, 8 Maret 2008

ADAB-ADAB PERNIKAHAN

Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

17. DISUNNAHKAN BERWUDHU’ DI ANTARA DUA JIMA’.
Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ، ثَمَّ أَرَادَ أَنْ يَقُوْدَ، فَلْيَتَوَضَّأْ بَيْنَهُمَا وُضُوْءًا.

“Jika salah seorang dari kalian telah bercampur dengan isterinya kemudian ingin mengulanginya, maka hendaklah dia berwudhu’ di antara keduanya.”[1]

Al-Hakim menambahkan: “Karena dengan begitu, akan lebih giat saat mengulanginya.”

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tidur kecuali jika telah berwudhu’ dari janabah.

Berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan: “Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak makan atau tidur sedangkan beliau dalam keadaan junub, maka beliau men-cuci farjinya dan berwudhu’ seperti wudhu’ beliau untuk shalat.”[2]

Al-Baihaqi meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma: “Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam junub lalu beliau hendak tidur, maka beliau berwudhu’ atau bertayammum.”[3]

Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, bahwa ‘Umar bertanya kepada Nabi: “Apakah dibenarkan jika salah seorang dari kita tidur dalam keadaan junub?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نَعَمْ إذَا تَوَضَّأَ.

“Ya boleh, apabila ia telah berwudhu’.”[4]

Abu Dawud meriwayatkan dari ‘Ammar bin Yasir Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثَلاَثَةٌ لاَ تَقْرَبُهُمُ الْمَلاَئِكَةُ: جِيْفَةُ الْكَـافِرِ، وَالْمُتَضَمِّخُ بِالْخَلُوْقِ، وَالْجُنُبُ إِلاَّ أَنْ يَتَوَضَّأَ.

“Ada tiga golongan yang tidak didekati oleh para Malaikat: bangkai kaum kafir, orang yang berlebihan memakai parfum[5] (parfum yang khusus untuk wanita), dan orang yang junub hingga ia berwudhu’.”[6]

(Sedangkan) mandi adalah lebih utama, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Rafi’, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari menggilir isteri-isterinya, beliau mandi di sisi yang ini dan di sisi yang itu.” Ia mengatakan: “Kemudian aku bertanya kepada beliau: ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak menjadi-kannya sekali mandi?’ Beliau menjawab:

هَذَا أَزْكَى وَأَطْيَبُ وَأَطْهَرُ.

‘Ini adalah lebih suci, lebih baik, dan lebih bersih.`”[7]

Adapun jika seseorang tidur sebelum mandi dan berwudhu’, maka ia boleh melakukannya; berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Ash-habus Sunan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur dalam keadaan junub, tanpa menyentuh air sedikit pun.”[8]

Dalam riwayat lainnya darinya: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur dalam keadaan junub, lalu Bilal datang kepada beliau untuk memberitahukan waktu shalat kepada beliau, maka beliau bangun dan mandi. Aku melihat air menetes dari kepala beliau, kemudian beliau keluar hingga aku mendengar suaranya dalam shalat Fajar. Kemudian beliau tetap ber-puasa.” Mutharrif bertanya kepada ‘Amir: “Pada bulan Ramadhan?” Ia menjawab: “Ya, baik di bulan Ramadhan maupun bulan lainnya.”[9]

Pertanyaan-Pertanyaan Penting Seputar Thaharah
Setelah menyebutkan adab-adab tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan jima’ (bercampurnya suami isteri), agar semakin jelas, maka saya akan mengetengahkan sebagian problem yang dihadapi suami-isteri berkenaan dengan hukum-hukum thahaarah. Oleh karena itu, saya menghimpun sebagian jawaban para ulama mengenai berbagai persoalan yang paling penting.

Pertanyaan Tentang Isteri Yang Tidak Bersuci Dengan Baik.
Suami melaksanakan tugas-tugas agamanya dan takut kepada Allah, tetapi dia diuji dengan seorang isteri yang seringkali tidak bersuci dengan baik dari janabah, yang saya ketahui bahwa wanita ini menjadikan pancuran air mengguyur tubuhnya, dan air tersebut tidak mengenai kepalanya. Apakah dia berdosa setiap kali menyetubuhinya setelah mandi dengan cara yang telah saya sebutkan tadi?

Jawaban : Suami tersebut wajib menasihati isterinya dan menjelaskan kepadanya tentang cara mandi janabah. Yaitu harus mengguyurkan air di atas kepalanya, meskipun dalam keadaan terikat; berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari hadits Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, bahwasanya ia menuturkan: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memintal rambut kepalaku, apakah aku harus menguraikannya untuk mandi janabah?” Beliau menjawab:

إِنَّمَا يَكْفِيْكِ أَنْ تَحْثِيْ عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثْيَـاتٍ، ثُمَّ تُفِيْضِيْنَ عَلَيْكِ الْمَاءَ، فَتَطْهُرِيْنَ.

“Cukuplah engkau mengguyurkan (air) di atas kepalamu sebanyak tiga kali guyuran, kemudian guyurkan air pada seluruh tubuhmu, maka engkau menjadi bersih.”[10]

Pertanyaan Tentang Hukum Bersuci Setelah Bercumbu:
Tatkala suami isteri bercumbu, mencium, atau menyentuh dengan syahwat, lalu dia melihat di celana dalamnya ada cairan yang berasal dari farjinya setelah kemaluannya ereksi kemudian melunak. Lalu ditanyakan tentang pengaruh-pengaruh yang disebabkan oleh hal itu berupa bersuci, serta sah dan tidaknya puasa?

Jawaban: Penanya tidak menyebutkan dalam pertanyaannya bahwa ia merasa sperma keluar karena mencumbui isterinya. Ia hanyalah menyebutkan bahwa dia melihat cairan di celana dalamnya. Tampaknya, wallaahu a’lam, bahwa apa yang dilihatnya adalah madzi,(*) bukan mani. Madzi adalah najis yang mengharuskan untuk menyuci kemaluan, dan tidak membatalkan puasa menurut pendapat yang shahih dari pendapat-pendapat para ulama. Ia juga tidak wajib mandi karenanya. Adapun jika yang keluar adalah mani, maka ia wajib mandi dan membatalkan puasa. Mani adalah suci, hanya saja ia kotor dan disyari’atkan mencuci bagian pakaian atau celana yang terkena mani. Orang yang berpuasa disyari’atkan menjaga puasanya dengan meninggalkan segala hal yang akan membangkitkan syahwatnya, seperti bercumbu dan sejenisnya.[11]

Pertanyaan Tentang Tempat Tidur Yang Ternoda:
Jika seorang pria mencampuri isterinya, lalu pakaian dan tempat tidur ternoda oleh bekas persetubuhan, maka apa hukum mengenai hal itu, dan apakah seseorang wajib untuk mandi setiap selesai berampur?

Jawaban: Pertama, dia wajib mencuci apa yang mengenai pakaian dan tempat tidur bekas persetubuhan; karena di dalamnya terdapat kotoran vagina dan cairannya yang bercampur dengan mani.

Kedua, jika penis laki-laki telah masuk ke dalam vagina perempuan, maka ia wajib mandi, walaupun tidak keluar mani. Dibolehkan mandi hanya sekali setelah menyetubuhi dua kali atau lebih kepada seorang isteri atau lebih; berdasarkam hadits shahih dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggilir para isterinya dengan sekali mandi.[12]

Pertanyaan Tentang Keluarnya Mani Tanpa Persetubuhan:
Jika cairan keluar dari wanita tanpa persetubuhan atau mimpi, apakah ia wajib mandi? Apakah wanita sama dengan laki-laki dalam hal pembagian cairan yang keluar dari kemaluannya, seperti mani, madzi dan wadi? Ataukah cairannya tersebut mengharuskan mandi, jika keluar, bagaimana pun keadaannya?

Jawaban: Jika mani keluar dari wanita dengan kenikmatan, maka ia wajib mandi, walaupun keluarnya mani tersebut darinya tanpa persetubuhan dan mimpi. Jika madzi keluar darinya, maka ia wajib mencuci kemaluannya. Jika wadi keluar darinya, maka hukumnya seperti hukum air kencing dan ia wajib mencucinya. Pembagian cairan wanita sebagaimana yang berlaku pada laki-laki. Ia harus berwudhu’, jika hendak melakukan sesuatu yang mengharuskan bersuci, seperti shalat dan sejenisnya, wa billaahit taufiiq.[13]

Pertanyaan: Apakah menyentuh wanita membatalkan wudhu’?

Syaikh ‘Utsaimin menjawab: Yang benar bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu’ secara mutlak, kecuali jika keluar sesuatu darinya (mani). Dalil atas hal itu adalah hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau mencium salah seorang isterinya dan pergi untuk menunaikan shalat tanpa berwudhu’. Karena pada dasarnya tidak ada yang membatalkan sehingga ada dalil yang secara tegas membatalkannya. Dan oleh karena orang itu telah menyempurnakan bersucinya sesuai dengan dalil syar’i, maka tidak dapat dianggap batal kecuali dengan dalil syar’i.

Jika dikatakan: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah berfirman da-lam Kitab-Nya:

أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ

‘Atau menyentuh wanita.’” [Al-Maa-idah/5: 6].

Jawaban: Yang dimaksud dengan bersentuhan dalam ayat ini adalah jima’ (persetubuhan), sebagaimana diriwayatkan secara shahih dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma. Kemudian, di sana terdapat dalil lainnya berupa pembagian ayat ini, yaitu pembagian bersuci menjadi ashliyyah (asli) dan badaliyyah (pengganti), juga pembagian bersuci menjadi kubra (besar) dan shughra (kecil), serta pembagian sebab-sebab bersuci, baik yang kubra maupun shughra.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah wajah dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki… ” [Al-Maa-idah/5: 6].
Ini adalah bersuci dengan air, yaitu (thaharah) ashliyyah shughra.

Kemudian Dia berfirman:

وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا

“Dan jika kamu junub, maka bersuci (mandi)lah.” [Al-Maa-idah/5: 6].

Ini adalah bersuci dengan air, yaitu (thaharah) ashliyyah kubra.
Kemudian, Dia pun berfirman:

وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا

“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah.” [An-Nisaa’/4: 43].

Firman Allah, (فَتَيَمَّمُوْا ) “Maka bertayammumlah,” ini adalah (thaharah) badal (pengganti).

Sedangkan firman-Nya, (أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء ) “Atau menyentuh perempuan,” merupakan penjelasan mengenai sebab (thaharah) kubra. Seandainya kita memahaminya sebagai sentuhan dengan tangan, niscaya dalam ayat ini Allah telah menyebutkan dua sebab untuk bersuci shughra dan mendiamkan tentang sebab bersuci yang kubra. Padahal Dia berfirman, (وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا ) “Dan jika kamu junub, maka bersuci (mandi)lah,” ini jelas menyelisihi balaghah (keindahan bahasa) al-Qur-an. Atas dasar hal itu, maka ayat ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan firman Allah, (أَوْ لاَمَسْتُـمُ النِّسَـاء ) “Atau kamu menyentuh perempuan,” (adalah) kamu menyetubuhi wanita, sehingga ayat ini mencakup dua hal yang menyebabkan bersuci: sebab besar dan sebab kecil. Thaharah yang kecil ada di empat anggota tubuh, sedangkan yang besar ada pada seluruh tubuh. Thaharah seluruh tubuh yang digantikan dengan tayammum cukup diwakili oleh dua anggota tubuh saja (wajah dan tangan), karena dalam tayammum ini adalah sama saja, baik thaharah kecil maupun besar.

Atas dasar ini, maka pendapat yang kuat bahwa sekedar menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu’ secara mutlak, baik dengan syahwat maupun tidak . Kecuali bila keluar sesuatu darinya, maka ia wajib mandi jika yang keluar tersebut adalah mani. Ia pun wajib mencuci kemaluan dan buah dzakarnya disertai dengan wudhu’ jika yang keluar adalah madzi.[14]

Pertanyaan: Apakah suami isteri wajib mandi setelah jima’, walaupun tidak mengalami orgasme?

Jawaban: Ya, keduanya wajib mandi, baik mengalami orgasme maupun tidak, berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا اْلأَرَبَعِ، ثُمَّ جَهَدَهـَا، فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ.

“Jika seseorang duduk di antara empat anggota tubuh wanita (menindihnya) kemudian menggaulinya, maka ia wajib mandi.”

Dalam lafazh Muslim:

وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ.

“Walaupun tidak mengalami orgasme (keluar mani).”[15]

Ini menegaskan tentang wajibnya mandi, walaupun tidak mengalami orgasme. Hal ini tidak diketahui oleh banyak manusia. Oleh karena itu mereka wajib menyadari akan hal itu.[16]

Petanyaan: Apakah isteri wajib mandi ?
Apakah isteri saya wajib mandi janabah pada saat dimasuki ketika bersetubuh, tetapi tanpa orgasme dalam rahim. Apakah dia wajib mandi ketika sperma masuk dalam rahimnya, ataukah dia cukup mencuci tubuhnya dan anggota tubuhnya saja?

Jawaban: Ya, dia wajib mandi jika dimasuki walaupun sedikit; berdasarkan hadits:

إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا اْلأَرَبَعِ، ثُمَّ جَهَدَهَا، فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ.

“Jika seseorang duduk di antara empat anggota tubuh wanita (menindihnya) kemudian menggaulinya, maka ia wajib mandi, meskipun tidak mengalami orgasme.”

Dan hadits:

إِذَا الْتَقَى خِتَانَانِ، فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ.

“Jika dua kemaluan telah bertemu, maka wajib mandi.”[17]

Demikian pula dia wajib mandi seandainya sperma masuk ke dalam rahim, karena dimasuki dan mengalami orgasme pada umumnya. Tetapi cukup dengan berwudhu’ jika hanya sekedar bersentuhan tanpa memasukinya.[18]

Pertanyaan Tentang Hukum Mandi Bagi Suami Isteri:
Seseorang duduk di antara empat enggota tubuh isterinya dan dua kemaluan bersentuhan tanpa memasuki, kemudian orgasme di luar kemaluan, apakah keduanya wajib mandi?

Jawaban: Laki-laki wajib mandi karena telah orgasme. Adapun wanita tidak wajib mandi. Karena syarat wajibnya mandi ialah memasuki. Seperti diketahui bahwa letak khitan ialah pucuk penis hingga sekitar pergelangan penis. Jika memang demikian, maka tidak bisa menyentuh tempat khitan wanita kecuali setelah pucuk penis memasukinya. Karena itu, kita mensyaratkan tentang wajibnya mandi karena persetubuhan bila pucuk kemaluan telah masuk. Disinyalir pada sebagian lafazh (redaksi) hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash:

إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ، وَتَوَاتِ الْحَشَفَةُ، فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ.

“Jika dua khitan (atau kemaluan) telah bertemu dan pucuk penis telah masuk, maka wajib mandi.”[19]

Pertanyaan tentang hukum keluarnya air kencing bersama sisa-sisa mani:
Seseorang mencampuri isterinya kemudian mandi. Setelah itu, keluar sisa-sisa mani bersama air kencing; apakah dia harus mandi lagi?

Jawaban: Orang yang telah mandi janabah kemudian mani keluar darinya setelah mandi, maka dia sudah cukup dengan mandinya tersebut dan ia tidak wajib mandi lagi. Ia hanya wajib beristinja dan berwudhu’, wa billaahit taufiiq.[20]

Pertanyaan Tentang Hukum Mandi Dari Janabah:
Seorang teman memberitahukanku bahwa jika seorang muslim menyetubuhi isterinya, maka dia harus buang air kecil sebelum mandi. Jika tidak, maka ia masih tetap junub. Karena cairan mani dalam kemaluan tidak bisa dihilangkan kecuali oleh air kencing, sebagaimana yang dia katakan. Lalu apa pendapatmu yang mulia?

Jawaban: Bahkan mandinya telah sah, meskipun tidak buang air kecil. Jika dia buang air kecil setelah itu dan mani keluar sedikit dengan sendirinya atau bersama air kencing tanpa syahwat, maka ia tidak wajib mandi untuk kedua kalinya, tapi cukup beristinja dan berwudhu’, wa billaahit taufiiq.

Pertanyaan Tentang Mencampuri Isteri Setelah Melahirkan:
Jika wanita yang hamil melahirkan dan (setelahnya) tidak mengeluarkan darah, apakah suaminya halal untuk menyetubuhinya, dan apakah dia harus shalat dan berpuasa ataukah tidak?

Jawaban: Jika wanita yang hamil melahirkan dan (setelahnya) tidak mengeluarkan darah, maka dia wajib mandi, shalat dan berpuasa, serta suami boleh menyetubuhinya setelah dia mandi. Karena pada umumnya, dalam melahirkan itu darah akan keluar walaupun sedikit, bersama bayi yang dilahirkan atau sesudahnya.[21]

Pertanyaan tentang mencampuri isteri beberapa waktu setelah melahirkan:
Apakah laki-laki boleh menyetubuhi isterinya selang 30 hari atau 25 hari setelah melahirkan, ataukah tidak kecuali setelah 40 hari? Karena saya mendengar sebagian orang mengatakan bahwa itu tergantung kemampuan isteri. Sebagian lainnya mengatakan: “Harus sempurna 40 hari.” Saya tidak tahu mana yang paling benar. Oleh karena itu, beritahukanlah kepadaku, semoga Allah mem-balasmu dengan sebaik-baik balasan.

Jawaban: Tidak boleh seorang pria menyetubuhi isterinya setelah melahirkan pada hari-hari nifasnya hingga sempurna 40 hari sejak tanggal kelahiran. Kecuali bila darah nifas berhenti sebelum 40 hari, maka ia boleh menyetubuhinya pada waktu darahnya telah terhenti dan setelah mandi. Jika darah keluar kembali sebelum 40 hari, maka haram menyetubuhinya pada waktu tersebut. Dan ia harus meninggalkan puasa dan shalat hingga sempurna 40 hari atau terhentinya darah, wa billaahit taufiiq.[22]

Pertanyaan tentang menggauli wanita yang kandungannya keguguran:
Di tengah-tengah kami ada seorang wanita yang keguguran kandungan tanpa sebab; apakah suami meneruskan bercampur bersamanya secara langsung ataukah berhenti selama 40 hari?

Jawaban: Jika janin telah terbentuk, yaitu tampak anggota tubuhnya berupa tangan, kaki, atau kepala, maka ia haram menyetubuhinya selagi darah keluar hingga 40 hari, dan ia boleh menyetubuhinya pada saat darah berhenti selama masa-masa 40 hari tersebut setelah mandi. Adapun jika tidak tampak anggota tubuhnya dalam janinnya, maka ia boleh menyetubuhinya walaupun ketika darah tersebut turun, karena tidak dianggap sebagai darah nifas, tetapi darah kotor. Ia tetap mengerjakan shalat dan berpuasa serta suaminya halal menyetubuhinya. Ia harus berwudhu’ pada tiap-tiap shalat.[23]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. Muslim (no. 308) kitab al-Haidh, at-Tirmidzi (no. 142) kitab ath-Thahaarah, an-Nasa-i (no. 264) kitab ath-Thahaarah, Abu Dawud (no. 220) kitab ath-Thahaarah.
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 288) kitab al-Ghasl, Muslim (no. 305) kitab al-Haidh, an-Nasa-i (no. 255) kitab ath-Thahaarah, Ibnu Majah (no. 584) kitab ath-Thahaarah wa Sunanuhaa, Ahmad (no. 25851), ad-Darimi (no. 757) kitab ath-Thahaarah.
[3]. HR. Al-Baihaqi (I/200); al-Hafizh berkata dalam al-Fat-h (1/313): “Sanadnya hasan.”
[4]. HR. Al-Bukhari (no. 289) kitab al-Ghasl, Muslim (no. 306) kitab al-Haidh, at-Tirmidzi (no. 120) kitab ath-Thahaarah, an-Nasa-i (no. 259) kitab ath-Thahaarah, Abu Dawud (no. 221) kitab ath-Thahaarah, Ahmad (no. 231), Malik (no. 109) kitab ath-Thahaarah.
[5]. Mutadhammikh adalah orang yang banyak memakai parfum (khaluq). Ibnul Atsir berkata: “Ini adalah parfum yang sudah dikenal yang diramu dari za’faran dan selainnya dari jenis-jenis parfum. Parfum ini dilarang karena termasuk parfum wanita.”
[6]. Syaikh al-Albani mengatakan dalam Aadaabuz Zifaaf (hal. 115) sebagai hadits hasan.
[7]. HR. Abu Dawud (no. 221) kitab ath-Thahaarah, Ibnu Majah (no. 289) kitab ath-Thahaarah wa Sunanuhaa, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih Abi Dawud (no. 215).
[8]. HR. At-Tirmidzi (no. 118) kitab ath-Thahaarah, Abu Dawud (no. 228) kitab ath-Thahaarah, Ibnu Majah (no. 581) kitab ath-Thahaarah wa Sunanuhaa. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih at-Tirmidzi (no. 103), Shahiih Abi Dawud (no. 223), dan Shahiih Ibni Majah (no. 471).
[9]. HR. Al-Bukhari (no. 1926) kitab ash-Shaum, Muslim (no. 1109) kitab ash-Shiyaam, at-Tirmidzi (no. 780) kitab ash-Shaum, Abu Dawud (no. 2389) kitab al-Manaasik, Ibnu Majah (no. 1703) kitab ash-Shiyaam, Ahmad (no. 2624), Malik (no. 641) kitab ash-Shiyaam, ad-Darimi (no. 1725), kitab ash-Shaum.
[10]. HR. Muslim (no. 330) kitab al-Haidh, at-Tirmidzi (no. 106) kitab ath-Thahaarah, an-Nasa-i (no. 242) kitab ath-Thahaarah, Abu Dawud (no. 251) kitab ath-Thahaarah wa Sunanuhaa, Ibnu Majah (no. 603) kitab ath-Thahaarah, Ahmad (no. 25938), ad-Darimi (no. 1157) kitab ath-Thahaarah.
(*). Madzi adalah cairan bening kental yang biasanya keluar dari kemaluan laki-laki pada saat mencumbu isterinya sebelum mencampurinya.
[11]. Fataawaa al-Lajnah ad-Daa-imah lil Iftaa’.
[12]. HR. Muslim (no. 309) kitab al-Haidh, Ibnu Majah (no. 478) kitab al-Haidh, at-Tirmidzi (no. 140) kitab ath-Thahaarah. Lihat Fataawaa al-Lajnah ad-Daa-imah lil Iftaa’.
[13]. Fataawaa al-Lajnah ad-Daa-imah lil Ifta’ (V/297).
[14]. Dinisbatkan oleh penulis kitab Fataawaa al-‘Ulamaa’ fii ‘Isyratin Nisaa’, (hal. 36) kepada kitab Majmuu’ Fataawaa wa Rasaa-il Syaikh Ibni ‘Utsaimin.
[15]. HR. Al-Bukhari (no. 291) kitab al-Ghusl, Muslim (no. 348) kitab al-Haidh, an-Nasa-i (no. 191) kitab ath-Thahaarah, Abu Dawud (no. 216) kitab ath-Thahaarah, Ibnu Majah (no. 610) kitab ath-Thahaarah wa Sunanuhaa, Ahmad (no. 9733) ad-Darimi (no. 761) kitab ath-Thahaarah.
[16]. Dinisbatkan oleh penulis buku Fataawaa al-‘Ulamaa’ fii ‘Isratin Nisaa’ (hal. 36) kepada Majmuu’ Rasaa-il, karya Syaikh al-‘Utsaimin.
[17]. HR. Muslim (no. 349) kitab al-Haidh, at-Tirmidzi (no. 108) kitab ath-Thahaarah, Ibnu Majah (no. 608) kitab ath-Thahaarah wa Sunanuhaa, Ahmad (no. 3686), Malik (no. 104) kitab ath-Thahaarah.
[18]. Dinisbatkan oleh penulis kitab Fataawaa al-‘Ulamaa’ fii ‘Isyratin Nisaa’ (hal. 37), kepada Fataawaa al-Mar-ah.
[19]. Dinisbatkan oleh penulis kitab Fataawaa al-‘Ulamaa’ fii ‘Isyratin Nisaa’ (hal. 38), kepada Majmuu’ Fataawaa wa Rasaa-il karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.
[20]. Dinisbatkan oleh penulis buku Fataawaa al-‘Ulamaa’ fii ‘Isyratin Nisaa’ (hal. 40), kepada Fataawaa al-Lajnah ad-Daa-imah lil Iftaa’.
[21]. Fataawaa al-Lajnah ad-Daa-imah lil Iftaa’, yang dinukil dari Fataawaa al-‘Ulamaa’ fii ‘Isyratin Nisaa’ (hal. 41).
[22]. Fataawaa al-Lajnah ad-Daa-imah lil Iftaa’ yang dinukil dari Fataawaa al-‘Ulamaa fii ‘Isyratin Nisaa’ (hal. 43).
[23]. Fataawaa al-Lajnah ad-Daa-imah lil Iftaa’ yang dinukil dari Fataawaa al-‘Ulamaa’ fii ‘Isyratin Nisaa’ (hal. 44).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2376-disunnahkan-berwudhu-di-antara-dua-jima.html